Rabu, 07 Oktober 2015

MAKNA SIMBOL MANU DAN KODO PADA PEO JAWAWAWO

MANU DAN KODO PADA PEO JAWAWAWO,
Foto by Seri Ndoa Dhele
Makna Simbol Manu
Pada bagian tengah di mana saka nda’a rua bertemu khususnya pada kedua sisi kiri dan kanan terdapat dua ekor ayam jantan atau manu. Riilnya, manu diletakkan tepat di titik tengah dari tiang peo. Apa sebenarnya makna dari simbol manu pada peo di Jawawawo sehingga para pendahulu memilih untuk menyertakan pahatan ayam jantan pada kedua sisi peo.
Dalam mitologi Yunani ayam jago dilukiskan memiliki kemampuan untuk “membangunkan” matahari. Ayam jagolah yang memanggil matahari untuk terbit di pagi hari dengan kokokkannya yang nyaring.[1] Kokokan ayam jago pada pagi menjelang matahari terbit ini menjadi simbol kemenangan terang atas kegelapan atau lebih konkretnya kemenangan kebaikan dan kebenaran atas kejahatan dan keburukan. Maka, tidaklah mengherankan jika pada beberapa gereja terdapat patung ayam jago pada bagian atapnya. Ayam jago dijadikan sebagai simbol penantian atau penyambutan datangnya Sang Fajar Kebenaran yaitu Yesus Kristus. Selain itu, tentang jago yang berkokok mengingatkan kita pada Petrus yang menyangkal Yesus. Jadi, ayam jago juga sebenarnya menjadi pengingat bagi manusia untuk menjaga kesetian sekaligus menjadi ajakan untuk selalu menoleh ke belakang dan merefleksikan segala sesuatu yang sudah pernah terjadi. Apakah kita sudah jujur pada kehidupan atau malah menyangkal kenyataan hidup yang sudah dan akan dihadapi.
Simbol ayam jago yang dipakai dalam mitologi Yunani dan dalam Gereja Katolik memiliki makna yang hampir sama dengan manu yang terdapat pada kedua sisi peo. Pada dasarnya simbol manu memiliki makna bahwa hari baru dan kehidupan baru selalu ada. Manusia diajak untuk selalu siap siaga menyambut kehidupan yang baru itu. Menjelang fajar, kalau ayam sudah berkokok, itu tandanya sedikit lagi fajar akan segera tiba. Ayam lebih tahu bilamana fajar akan menyingsing.
Manu yang ditempatkan pada batang peo menjadi pengingat bagi orang Jawawawo bahwa waktu itu penting. Kurang tepat jika orang Jawawawo menghabiskan waktu hanya untuk bermalas-malasan dan tidur berkepanjangan. Orang Jawawawo harus selalu siap untuk menyambut hari baru dan bersikap optimis dalam menghadapi segala tuntutan di hari baru itu. Ayam yang tidak berakal budi selalu pasti untuk menyambut fajar di setiap paginya apalagi manusia yang berakal budi dan dianugerahi kesadaran penuh seharusnya lebih pasti untuk menyongsog hari baru.
Selain menjadi pengingat tentang pentingnya waktu, manu pada peo Jawawawo juga memberi arti tentang pola hidup yang benar. Hampir pasti bahwa ketika matahari terbenam ayam-ayam sudah berada di atas dahan-dahan pohon. Ketika fajar tiba, mereka akan segera meninggalkan dahan-dahan itu dan mulai mencari makan. Pesan untuk orang Jawawawo dari simbol manu ini dalam hubungannya dengan nilai moral adalah bahwa malam hari adalah waktu yang tepat untuk ada bersama keluarga, membersihkan diri setelah seharian penuh berjibakau di ladang, beristirahat yang panjang untuk menyiapkan fisik menghadapi hari baru. Malam tidak harus identik dengan dunia yang liar, hiruk pikuk dan kotor, orang Jawawawo harus sudah ada di rumah masing-masing ketika hari sudah malam, tidak harus berkeliaran ke mana-mana.
Dengan demikian, simbol manu pada kedua sisi peo menjadi sangat sentral bagi orang Jawawawo baik dalam persiapan menyambut hari baru, penghargaan terhadap waktu dan penataan moralitas kehidupan.
 Makna Simbol Kodo
Selain manu, di atas puncak dari saka nda’a rua terdapat seekor burung pada masing-masing saka nda’a. Masyarakat sekitar memberi nama pada burung di atas puncak tiang peo ini dengan nama kodo. Dalam bahasa Indonesia kodo adalah burung tekukur. Burung tekukur ini berasal dari ras merpati sehingga ada banyak kemiripan yang ditemukan antara burung tekukur dan burung merpati. Perbedaannya terletak pada bentuk tubuh di mana burung tekukur memiliki ekor yang lebih panjang dan ramping dibandingkan burung merpati.
Salah satu kekhasan dari tekukur yang hampir sama dengan merpati adalah kesetiaannya pada pasangan. Jika kita perhatikan pada saat mencari makan di bawah tanah, burung tekukur akan selalu berpasangan. Meski berada dalam satu gerombolan yang besar namun tekukur selalu memiliki pasangannya masing-masing. Kekhasan lainnya dari burung tekukur yang juga dimiliki oleh merpati adalah kebiasaannya untuk sering berada di bawah tanah. Tekukur tidak seperti burung lain yang berlama-lama di pohon dan beterbangan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya.
Burung tekukur mengajarkan kesetian dan kerendahan hati. Tekukur selalu setia dengan pasangan dan mereka lebih senang untuk berada di bawah tanah ketimbang bermain di atas langit. Ketinggian sering diidentikkan dengan kesombongan tetapi tekukur lebih memilih untuk sesering mungkin memijakkan kakinya di tanah.
Orang Jawawawo merasa penting untuk menyertakan tekukur atau kodo dalam unsur-unsur kebudayaan mereka. Simbol kodo dipahat lalu diletakkan pada puncak dari saka nda’a rua peo. Kodo menjadi simbol yang diletakkan pada tempat paling tinggi dibandingkan dari simbol-simbol lain yang ada pada tubuh peo.
Lasarus Gani menuturkan bahwa kodo adalah simbol dari roh, kekuatan, terang dan kebijaksanaan. Rembu kita ngai sia rende eda (semua kita bisa berpikir dengan baik dan bijaksana) karena ada roh. Hal ini menjadi alasan mengapa kodo ditempatkan di atas ujung.[2] Kekuatan dari kodo tercermin dalam ketidaktakutannya untuk berada di bawah tanah. Jika dibandingkan dengan kehidupan di atas pohon tentu kehidupan di bawah tanah lebih terancam. Tetapi kodo tidak akan pernah bersembunyi di atas pohon, kodo dengan penuh keberanian turun ke tanah untuk mencari makanan.
Melalui simbol kodo orang Jawawawo diajarkan untuk selalu setia dalam kehidupan, baik kesetiaan dengan pasangan hidup, setia dalam tugas dan kewajiban serta janji-janji yang dibuat. Selain itu orang Jawawawo juga diajarkan untuk selalu rendah hati dalam keseharian hidup mereka dan berani menghadapi tantangan hidup.



[2] Lasarus Gani, 52 Tahun, Tokoh Adat dan Tetua Adat, Wawancara, Jawawawo, 3 Juli 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar