MANU DAN KODO PADA PEO JAWAWAWO, Foto by Seri Ndoa Dhele |
Makna Simbol Manu
Pada bagian tengah di
mana saka nda’a rua bertemu khususnya
pada kedua sisi kiri dan kanan terdapat dua ekor ayam jantan atau manu. Riilnya, manu diletakkan
tepat di titik tengah dari tiang peo. Apa
sebenarnya makna dari simbol manu pada
peo di Jawawawo sehingga para
pendahulu memilih untuk menyertakan pahatan ayam jantan pada kedua sisi peo.
Dalam mitologi Yunani
ayam jago dilukiskan memiliki kemampuan untuk “membangunkan” matahari. Ayam
jagolah yang memanggil matahari untuk terbit di pagi hari dengan kokokkannya
yang nyaring.[1]
Kokokan ayam jago pada pagi menjelang matahari terbit ini menjadi simbol
kemenangan terang atas kegelapan atau lebih konkretnya kemenangan kebaikan dan
kebenaran atas kejahatan dan keburukan. Maka, tidaklah mengherankan jika pada
beberapa gereja terdapat patung ayam jago pada bagian atapnya. Ayam jago
dijadikan sebagai simbol penantian atau penyambutan datangnya Sang Fajar Kebenaran
yaitu Yesus Kristus. Selain itu,
tentang jago yang berkokok mengingatkan kita pada Petrus yang menyangkal Yesus.
Jadi, ayam jago juga sebenarnya menjadi pengingat bagi manusia untuk menjaga
kesetian sekaligus menjadi ajakan untuk selalu menoleh ke belakang dan
merefleksikan segala sesuatu yang sudah pernah terjadi. Apakah kita sudah jujur
pada kehidupan atau malah menyangkal kenyataan hidup yang sudah dan akan
dihadapi.
Simbol ayam jago yang
dipakai dalam mitologi Yunani dan dalam Gereja Katolik memiliki makna yang
hampir sama dengan manu yang terdapat
pada kedua sisi peo. Pada dasarnya
simbol manu memiliki makna bahwa hari
baru dan kehidupan baru selalu ada. Manusia diajak untuk selalu siap siaga
menyambut kehidupan yang baru itu. Menjelang fajar, kalau ayam sudah berkokok,
itu tandanya sedikit lagi fajar akan segera tiba. Ayam lebih tahu bilamana fajar akan
menyingsing.
Manu
yang
ditempatkan pada batang peo menjadi
pengingat bagi orang Jawawawo bahwa waktu itu penting. Kurang tepat jika orang
Jawawawo menghabiskan waktu hanya untuk bermalas-malasan dan tidur
berkepanjangan. Orang Jawawawo harus selalu siap untuk menyambut hari baru dan
bersikap optimis dalam menghadapi segala tuntutan di hari baru itu. Ayam yang
tidak berakal budi selalu pasti untuk menyambut fajar di setiap paginya apalagi
manusia yang berakal budi dan dianugerahi kesadaran penuh seharusnya lebih
pasti untuk menyongsog hari baru.
Selain menjadi
pengingat tentang pentingnya waktu, manu pada
peo Jawawawo juga memberi arti
tentang pola hidup yang benar. Hampir pasti bahwa ketika matahari terbenam
ayam-ayam sudah berada di atas dahan-dahan pohon. Ketika fajar tiba, mereka
akan segera meninggalkan dahan-dahan itu dan mulai mencari makan. Pesan untuk
orang Jawawawo dari simbol manu ini
dalam hubungannya dengan nilai moral adalah bahwa malam hari adalah waktu yang
tepat untuk ada bersama keluarga, membersihkan diri setelah seharian penuh
berjibakau di ladang, beristirahat yang panjang untuk menyiapkan fisik
menghadapi hari baru. Malam tidak harus identik dengan dunia yang liar, hiruk
pikuk dan kotor, orang Jawawawo harus sudah ada di rumah masing-masing ketika
hari sudah malam, tidak harus berkeliaran ke mana-mana.
Dengan demikian, simbol
manu pada kedua sisi peo menjadi sangat sentral bagi orang
Jawawawo baik dalam persiapan menyambut hari baru, penghargaan terhadap waktu
dan penataan moralitas kehidupan.
Makna Simbol Kodo
Selain manu, di atas puncak dari saka nda’a rua terdapat seekor burung
pada masing-masing saka nda’a. Masyarakat
sekitar memberi nama pada burung di atas puncak tiang peo ini dengan nama kodo.
Dalam bahasa Indonesia kodo adalah
burung tekukur. Burung tekukur ini berasal dari ras merpati sehingga ada banyak
kemiripan yang ditemukan antara burung tekukur dan burung merpati. Perbedaannya
terletak pada bentuk tubuh di mana burung tekukur memiliki ekor yang lebih
panjang dan ramping dibandingkan burung merpati.
Salah satu kekhasan
dari tekukur yang hampir sama dengan merpati adalah kesetiaannya pada pasangan.
Jika kita perhatikan pada saat mencari makan di bawah tanah, burung tekukur
akan selalu berpasangan. Meski berada dalam satu gerombolan yang besar namun
tekukur selalu memiliki pasangannya masing-masing. Kekhasan lainnya dari burung
tekukur yang juga dimiliki oleh merpati adalah kebiasaannya untuk sering berada
di bawah tanah. Tekukur tidak seperti burung lain yang berlama-lama di pohon
dan beterbangan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya.
Burung tekukur
mengajarkan kesetian dan kerendahan hati. Tekukur selalu setia dengan pasangan
dan mereka lebih senang untuk berada di bawah tanah ketimbang bermain di atas
langit. Ketinggian sering diidentikkan dengan kesombongan tetapi tekukur lebih
memilih untuk sesering mungkin memijakkan kakinya di tanah.
Orang Jawawawo merasa
penting untuk menyertakan tekukur atau kodo
dalam unsur-unsur kebudayaan mereka. Simbol kodo dipahat lalu diletakkan pada puncak dari saka nda’a rua peo. Kodo menjadi simbol yang diletakkan pada tempat
paling tinggi dibandingkan dari simbol-simbol lain yang ada pada tubuh peo.
Lasarus Gani menuturkan
bahwa kodo adalah simbol dari roh,
kekuatan, terang dan kebijaksanaan. Rembu
kita ngai sia rende eda (semua kita bisa berpikir dengan baik dan
bijaksana) karena ada roh.
Hal ini menjadi alasan mengapa kodo ditempatkan
di atas ujung.[2]
Kekuatan dari kodo tercermin dalam
ketidaktakutannya untuk berada di bawah tanah. Jika dibandingkan dengan
kehidupan di atas pohon tentu kehidupan di bawah tanah lebih terancam. Tetapi kodo tidak akan pernah bersembunyi di
atas pohon, kodo dengan penuh
keberanian turun ke tanah untuk mencari makanan.
Melalui simbol kodo orang Jawawawo diajarkan untuk
selalu setia dalam kehidupan, baik kesetiaan dengan pasangan hidup, setia dalam
tugas dan kewajiban serta janji-janji yang dibuat. Selain itu orang Jawawawo
juga diajarkan untuk selalu rendah hati dalam keseharian hidup mereka dan berani
menghadapi tantangan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar