Semua manusia tanpa
terkecuali memiliki kemampuan untuk mencipta. Kemampuan mencipta yang dimiliki
manusia membuatnya berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Di sisi lain
kemampuan mencipta juga membuat manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya
atau homo culturalis. Kebudayaan
mempertegas dimensi manusia sebagai pencipta di dunia.[1] Dengan
kemampuan akal budinya manusia bisa menghasilkan berbagai hal, baik berupa
komponen-komponen material seperti benda, barang atau objek tertentu maupun
komponen non material dalam bentuk nilai-nilai seperti nilai kognitif, estetis,
etis dan religius. Jadi hanya manusialah yang bisa menciptakan kebudayaannya
sendiri. Sehingga segala sesuatu yang tercipta di luar aktivitas manusia tidak
bisa disebut sebagai hasil kebudayaan.
Kebudayaan
adalah hasil aktivitas manusia, yaitu aktualisasi kemampuan-kemampuan yang ada
dalam kodratnya. Karya manusia bersifat sadar dan bebas, dan berbeda dari
aktivitas-aktivitas alamiah dan energi alam dan dari “karya” hewan yang tidak
berefleksi.[2]
Fenomena-fenomena yang
terlahir secara instingtif dan tidak dipelajari tidak bisa disebut sebagai
hasil kebudayaan. Kebudayaan terwujud melalui proses belajar. Melalui proses
belajar manusia mengenal dunia. Kebudayaan itu dipelajari, dan bukan diterima
secara biologis. Kebiasaan-kebiasaan dan cara bertindak dipelajari dalam
pengalaman hidup.[3]
Sebagai contoh semut-semut yang bersifat sosial, tidak dapat dikatakan memiliki
suatu kebudayaan, walaupun memiliki tingkah laku yang teratur. Keteraturan
semut tidak berasal dari proses belajar, tanpa pernah diajari cara melakukannya
dan tanpa meniru kelakuan semut-semut lain.[4]
Jadi kebudayaan selalu bermula dari proses belajar. Kebudayaan adalah
keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang menjadi milik
manusia yang diperoleh melalui pembelajaran.[5]
Meskipun
kebudayaan terlahir dari daya budi dan pikiran manusia, namun tidak semua
aktivitas pikiran dan kehendak manusia adalah hasil kebudayaan. Apabila sesuatu
yang dihasilkan itu terlahir dari satu individu saja dan dipraktekkan secara
sendiri-sendiri maka belum bisa disebut sebagai kebudayaan. Hal semacam itu
disebut sebagai kebiasaan pribadi, bukan suatu pola kebudayaan. Sesuatu disebut
sebagai kebudayaan apabila sesuatu itu dimiliki bersama oleh suatu bangsa atau
sekelompok orang.[6]
Aktivitas manusia tergolong sebagai hasil kebudayaan jika hasil tersebut
bersifat publik dan dipraktekkan secara umum, sekurang-kurangnya dalam kelompok
penganut kebudayaan tersebut.
Ciri
kebudayaan yang bersifat sosial atau publik tidak serta-merta harus bersifat
universal dalam arti kebudayaan dari satu kelompok tertentu harus bisa diterima
oleh semua kelompok budaya lain. Setiap kelompok dengan kekhasan pola pikirnya
akan menghasilkan corak kebudayaan yang berbeda-beda. Corak kebudayaan yang
dihasilkan suatu kelompok tidak bisa menegasikan corak kebudayaan dari kelompok
lain meski praktik kebudayaan dari kelompok lain bertentangan dengan
nilai-nilai yang diterima pada kelompok tertentu. Keberanian untuk menampar pipi
sang ayah oleh seorang anak pada suku Yanomamo sangat dianjurkan. Pada budaya
lain hal ini dilarang, karena menampar pipi ayah sendiri adalah tindakan yang
sulit diterima. Namun intensi
dasar tindakakn ini pada suku Yanomamo adalah untuk menempa keberanian generasi
muda Yanomamo. Yanomamo adalah suatu masyarakat dalam mana permusuhan antar
kelompok adalah umum dan biasa, sehingga tabiat yang kejam merupakan suatu
sikap yang sangat berharga. Kebudayaan Yanomamo ini selaras dengan salah satu
sifat kebudayaan yaitu sebagai hasil adaptasi dari lingkungan dan tuntutan
kehidupan[7].
Contoh ini menegaskan bahwa manusia akan selalu berkembang sesuai dengan
perubahan lingkungan hidup dan tuntutan-tuntutan dari berbagai segi kehidupan
yang menyertainya. Tutuntan-tuntutan dalam kehidupan dari setiap kelompok
budaya pasti berbeda-beda. Hal ini yang menyebabkan kebudayaan terlahir dan
berkembang secara berbeda pula. Menghadapi kenyataan seperti ini suatu sikap
yang dituntut dari semua manusia sebagai pelaku budaya adalah saling mengakui
dan menerima kekhasan budaya dari masing-masing kelompok.
Kebudayaan
sebagai proses belajar dan hasil ciptaan akal budi manusia entah berkembang
dalam masing-masing kelompok budaya secara berbeda-beda dan dimaknai secara
berbeda-beda selalu menjadikan manusia sebagai tujuannya. Melalui kebudayaan,
manusia diarahkan untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang utuh baik dalam
pengembangan daya-daya vital maupun daya-daya psikis-rohani manusia.[8] Ada
dua unsur kebudayaan yang mendukung pengembangan diri manusia, yaitu kebudayaan
subjektif dan kebudayaan objektif.[9]
Kebudayaan subjektif mencakup nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan,
keyakinan dan pola pikir. Melalui nilai-nilai ini manusia menyempurnakan kosmos
dan menghumanisasikan dirinya.[10]
Sementara kebudayaan objektif adalah pernyataan diri dari kebudayaan subjektif.
Kebudayaan objektif adalah hasil dari penghayatan nilai-nilai, pola pikir dan
keyakinan dalam kebudayaan subjektif. Dengan kata lain kebudayaan objektif
adalah hasil kebudayaan berupa alat dan benda-benda kebudayaan yang terungkap
melalui hasil ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan
agama.[11]
Jadi dua unsur kebudayaan ini yang berpengaruh dalam perwujudan diri manusia.
Salah
satu unsur kebudayaan objektif yang sangat penting dan menentukan adalah
simbol-simbol kebudayaan. Simbol menjadi bagian dari komponen budaya material yang
menjadi dasar terbentuknya kebudayaan.
Pentingnya simbol dalam kebudayaan membuat beberapa ahli mendefenisikan
kebudayaan sebagai suatu sistem simbol dan tanda. Salah satunya adalah Talcott
Parsons. Beliau memahami kebudayaan sebagai sistem tanda-tanda atau
simbol-simbol. Menurutnya setiap masyarakat menghasilkan satu sistem tanda,
simbol, pola, ide dan nilai yang berperan dalam mewujudkan kehidupan.[12] Robert
Schreiter juga mendefenisikan kebudayaan sebagai hasil dari interaksi simbol
atau tanda yang saling mendefenisikan atau saling memberi arti.[13] Suatu
simbol menjadi berarti karena diberi arti oleh simbol yang lainnya dan turut
mengambil bagian dalam simbol yang lain. Setiap simbol atau tanda yang saling
berkaitan akan membentuk suatu pola
kebudayaan tertentu. Simbol dan tanda menjadi sangat sentral dalam pembentukkan
kebudayaan yang pada akhirnya berperan juga dalam pembentukkan diri manusia.
Pentingnya simbol kebudayaan dalam mewujudkan diri manusia juga ditegaskan Geertz dalam tulisan
berikut,
Supaya dapat
menyususn pikiran-pikiran kita, kita mesti mengetahui bagaimana kita merasakan
sesuatu. Dan untuk mengetahui bagaimana kita merasakan kenyataan, kita
membutuhkan gambaran-gambaran sentimen publik yang hanya dapat dipenuhi oleh
ritus, mitos, dan seni.[14]
Ritus,
mitos dan seni yang dimaksudkan Geertz di atas adalah simbol-simbol kebudayaan.
Dan manusia berkembang melalui simbol-simbol tersebut. Manusia menggunakan
simbol-simbol kebudayaan tersebut untuk mewujudkan dan mengekspresikan diri
serta mengungkapkan keyakinan-keyainannya. Maka benar apa yang dikatakan Ernest
Cassirer bahwa manusia adalah homo
simbolicus (makhluk yang mengenal simbol-simbol).[15]
Melalui simbol-simbol yang dikenal itu manusia mampu menemukan makna dan pesan
tentang dunia bagi dirinya.
Seperti
halnya simbol-simbol secara umum hadir dalam bentuk kata atau barang, objek
atau tindakan, dan peristiwa begitu pula dengan simbol-simbol dalam kebudayaan.
Ada banyak bentuk simbol yang dapat ditemukan dalam setiap kebudayaan. Bahasa
adalah salah satu contoh simbol kebudayaan dalam bentuk kata-kata, sementara
patung, monumen, benda-benda adat, gambar, dan ikon adalah simbol kebudayaan
dalam bentuk barang, kemudian ritual-ritual adat adalah contoh dari simbol
kebudayaan dalam bentuk tindakan atau peristiwa. Simbol-simbol ini menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan setiap masyarakat dalam suatu
kelompok budaya tertentu. Pentingnya peran simbol dalam mewujudkan kehidupan
yang utuh menjadi salah satu alasan bagi kelompok masyarakat tertentu untuk
terus menjaga simbol-simbol budaya tersebut.
Penghargaan
yang tinggi terhadap simbol-simbol kebudayaan sebagai bagian penting dalam
kehidupan berbudaya ditunjukkan oleh masyarakat suku Keo.[16]
Salah satu simbol yang masih dipelihara dan dijunjung tinggi oleh orang-orang
Keo adalah simbol adat peo. Peo adalah monumen adat berbentuk tiang
bercabang dua. Peo sendiri terbuat
dari kayu embu (cassia fistula) yang diukir membentuk beberapa relief binatang.
Sementara itu pada beberapa bagiannya disertakan beberapa simbol lain seperti
simbol ayam, burung tekukur dan siput. Peo
sebagai simbol adat dipahami sebagai benda yang disakralkan, disucikan,
dikhususkan, simbol persatuan dan simbol kepemilikan tanah, simbol relasi
antara dunia manusia dan dunia Roh atau Tuhan Allah, simbol yang membuat orang
sadar akan peran, tugas dan tanggungjawabnya dalam bermasyarakat.[17]
Makna yang terkandung pada peo ini
membuat masyarakat Keo menaruh penghargaan yang tinggi kepada simbol adat
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masih terjaganya Peo pada setiap nua-nua pu’u[18]
atau kampung-kampung pusat. Jadi,
peo
dianggap penting sebab melaluinya
manusia dibantu untuk membina relasi dengan sesama manusia, leluhur dan Tuhan.
Meski
peo memiliki makna yang hampir sama
untuk semua daerah di Keo namun setiap kampung memiliki makna khusus untuk peo yang didirikan itu. Untuk itu dalam
tulisan ini penulis memfokuskan sasaran penulisan hanya pada peo di kampung Jawawawo yang berada di
Desa Kotowuji Timur, Kecamatan Keotengah, Kabupaten Nagekeo, Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Masyarakat adat Jawawawo adalah salah satu kelompok masyarakat
budaya pada suku Keo yang masih menganggap penting simbol-simbol dalam
kebudayaan mereka. Salah satu simbol yang masih dijunjung tinggi oleh orang
Jawawawo adalah peo. Peo diterima
sebagai representasi leluhur di kampung Jawawawo dan dalam kehidupan mereka. Di
samping itu orang Jawawawo juga meyakini adanya daya yang dipancarkan oleh peo tersebut. Peo diterima sebagai simbol yang mengatur keharmonisan hidup orang
Jawawawo secara utuh khususnya dalam hubungan dengan sesama, leluhur dan Tuhan.
Rasa hormat mereka terhadap peo dibuktikan
dengan pemeliharaan simbol adat peo secara
berkala.
Pada
tahun 2002 lalu suatu musyawarah dalam forum terbuka atau te’e mere tenda dewa[19] anggota suku kampung Jawawawo
memutuskan bahwa peo baru harus
segera dibangun. Kondisi peo yang
sudah semakin tua dan lapuk tidak bisa dibiarkan begitu saja. Maka pada tahun
yang sama peo baru akhirnya dibangun
menggantikan peo lama yang sudah
berumur 50-an tahun itu. Peo bagi
masyarakat Jawawawo menjadi sebuah monumen yang sakral sehingga harus selalu
diperhatikan dan dijaga. Ketika peo
yang lama tidak bisa dipertahankan
lagi karena faktor usia maka pusi ta
muri, kedhu ta mewu[20]
menjadi suatu keharusan. Peo lama
harus diganti dengan peo baru. Peo harus tetap kelihatan kokoh, kuat,
agung dan sakral.
Bagi
masyarakat Jawawawo, peo tidak hanya sekedar
simbol yang menandakan bahwa Jawawawo adalah kampung adat tetapi menjadi simbol
religius dan sosial budaya. Peo adalah
simbol kehadiran leluhur di tengah kehidupan orang Jawawawo. Melalui peo yang berdiri tegak orang Jawawawo
mengenang kembali asal muasal nenek moyang mereka, kebajikan-kebajikan yang
pernah dibuat leluhur, filosofi-filosofi hidup yang membentuk kepribadian orang
Jawawawo dan Tuhan sebagai penyelenggara atas seluruh kehidupan. Peo memiliki daya yang mampu mempengaruhi
seluruh aktivitas hidup orang Jawawawo, baik aktivitas jasmani maupun kehidupan
rohani mereka, sehingga ketika peo lama
sudah termakan usia maka para ketua suku dari semua suku di Jawawawo pun mulai
mengadakan pertemuan untuk merencanakan pembuatan peo baru dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk
melancarkan pembangunan peo baru itu.
Pertemuan bersama ini dikenal sebagai tahap mutu
mumu dhemu dema.[21]
Peo baru harus segera dibuat agar orang Jawawawo tidak melupakan leluhur,
tidak melupakan tempat asal, tidak melupakan kebajikan dan filosofi hidup yang
pernah ditorehkan para leluhur dan tetap menaruh penghormatan terhadap leluhur
yang pernah membentuk dan membangun kampung Jawawawo serta semua mereka yang
pernah mendiami dan mengharumkan kampung adat tersebut.
Peo Jawawawo
sudah digunakan sebagai simbol adat sejak pertama kali kampung Jawawawo
dibangun yaitu pada masa embu[22]
Riwu Tai dan terus bertahan hingga hari ini. Bila dihitung maka sudah empat
kali peo Jawawawo dibangun. Peo pertama dibangun pada masa Kolo Sati Batu Sebho, peo kedua pada
masa Nggajo Ndona Mado Wawo, peo ketiga
pada masa Siga Daga Dhae Sebho, peo keempat
pada masa Nggajo Legho Goa Mite.[23]
Tentunya ada sesuatu dalam peo yang
membuat peo tersebut terus
dipelihara, dipertahankan dan dijaga hingga sekarang. Dan sesuatu itu sudah
disebutkan di atas bahwa peo menjadi
simbol kehadiran leluhur, kenangan akan kebajikan-kebajikan leluhur serta
kenangan akan adanya Penyelenggara Tunggal kehidupan. Hal inilah yang membuat peo selalu dipertahankan hingga saat ini. Ada
suatu keyakinan pada masyarakat adat Jawawawo akan daya kekuatan dan inspirasi
kehidupan yang datang dari peo. Keyakinan
itu kemudian menjadi bentuk religiositas
bagi orang Jawawawo.
Religiositas
semacam ini menjadi dasar kekuatan dan bertahannya simbol adat peo. Ernst Cassirer pernah mengatakan
bahwa jauh sebelum menciptakan negara sebagai suatu bentuk organisasi
sosial, manusia sudah melakukan berbagai
percobaan lain untuk menata keinginan-keinginan, perasaan-perasaan dan
pemikiran-pemikirannya yang terjadi dalam bentuk bahasa, mitos, agama, kesenian
dan berbagai unsur kebudayaan lainnya.[24] Peo adalah bagian dari warisan
kebudayaan yang dihasilkan para leluhur dan sudah hadir sebelum negara
Indonesia terbentuk. Persatuan sudah tercipta dalam kelompok kecil kebudayaan
jauh sebelum kemerdekaan dan peo menjadi
simbol persatuan itu. Pemikiran-pemikiran, perasaan dan cara hidup sudah ditata
di bawah kaki peo. Maka boleh diambil
satu kesimpulan bahwa peo sebagai
simbol telah menghadirkan religiositas bagi orang Jawawawo yang sudah ada sejak
dahulu dan terus bertahan hingga saat ini. Sebagai simbolisasi ekspresi
religiositas, peo Jawawawo
pertama-tama bukan menjadi objek pujaan tetapi sebagai tugu peringatan atau
monumen budaya dalam hubungan dengan roh para leluhur dan Wujud Tertinggi
sebagai asal dan tujuan hidup mereka.[25]Peo adalah sarana, bukan tujuan. Peo menjadi suatu simbolisasi. Sebagai
simbolisasi, peo menjadi sarana
pendidikan yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Melalui peo, orang Jawawawo ingat akan berkat Allah dan leluhur yang mereka
terima dari dulu, sekarang dan waktu yang akan datang.
[1] J. W. M. Bakker, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta:
Kanisius, 1984), hlm. 22.
[2] Frans Ceunfin, “Filsafat
Budaya”, Manuskrip, Ledalero:
2004, hlm. 118.
[4] Carol R. Ember dan Melvin Ember,
“Konsep Kebudayaan” dalam T. O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2006), hlm. 19.
[5] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1971), hlm. 180.
[6]Ibid.,
hlm. 20-21. Bdk. Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,
1992), hlm. 15.
[7] Bdk. Frans Ceunfin, Op.Cit., hlm. 20.
[9] Bdk. Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia; Paradoks dan
Seruan (Jogjakarta: Kanisius, 2004), hlm. 59.
[10] J. W. M. Bakker, Op. Cit., hlm. 38.
[12] Frans Ceunfin, Op.Cit., hlm. 27.
[13]Robert J. Schreiter,Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta:
Gunung Mulia, 1996), hlm. 84.
[14]Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,
1992), hlm. 98.
[15]Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Essei Tentang
Manusia (Jakarta: PT. Gramedia, 1987), hlm. 40.
[16] Ada tiga suku besar di kabupaten
Nagekeo yaitu suku Nage, Keo dan Toto. Suku Keo meliputi semua daerah di pantai
Selatan mulai dari kecamatan Mauponggo, Keotengah dan Nangaroro. Sementar
Jawawawo adalah bagian dari Kecamatan Keotengah.
[17] H. Primus Siu, “Nilai Dan Simbol
Religius Perjamuan Raya (Nado Mere)
Masyarakat Jawawawo: Studi Komparatif Inkulturatif Dengan Nilai-Nilai Ekaristi”,
Tesis (Maumere: STFK Ledalero, 2012),
hlm. 4.
[18]Nua
berarti kampung,
pu’u berarti batang. Jadi nua pu’u dimengerti sebagai kampung
utama atau kampung pusat bagi beberapa kampung lainnya. Kampung-kampung lain
diandaikan sebagai dahan-dahan dari batang utama.
[19]Te’e
berarti tikar, mere berarti besar, tenda berarti ruang tamu, dewa
berarti panjang. Secara harafiah te’e
mere tenda dewa berarti tikar besar dan ruang tamu yang panjang. Namun
sebenarnya te’e mere tenda dewa berarti
suatu forum terbuka di mana semua orang berkumpul untuk membicarakan hal-hal
yang berhubungan dengan kegiatan atau pekerjaan bersama yang akan dilakukan.
[20]Pusi
berarti mengisi,
muri berarti baru, ta berarti yang, kedhu berarti cabut, mewu berarti
rusak atau hancur. Secara harafiah pusi
ta muri kedhu ta mewu berarti isi yang baru dan cabut yang lama. Term ini
memiliki makna yang mendalam bahwa yang jahat, buruk dan tidak baik dalam
kehidupan mesti diganti dengan sesuatu yang baik dan benar.
[21]Mutu
berarti
berkumpul, mumu berarti mulut, dhemu berarti mempertemukan dema berarti lidah. Secara harafiah mutu mumu dhemu dema berarti mulut-mulut
yang berkumpul dan mempertemukan lidah-lidah. Tapi sebenarnya mutu mumu dhemu dema berarti suatu
pertemuan yang dilakukan secara bersama-sama di mana setiap orang bisa
memberikan ide atau pendapatnya dalam mewujudkan suatu rencana bersama.
[22]Embu
adalah sebutan
untuk orang yang sudah tua baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, baik
yang perempuan maupun yang laki-laki. Kata embu
sama dengan kata kakek atau nenek dalam kosa kata bahasa Indonesia.
[23] Lasarus Gani, 52 Tahun, Tokoh Adat
dan Tetua Adat, Wawancara, Jawawawo,
3 Juli 2014.
[24] Ernst Cassirer, Op.Cit., hlm. 98.
[25] H. Primus Siu, Op.Cit., hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar