Jumat, 02 Oktober 2015

PEO JAWAWAWO: SIMBOL EKSPRESI RELIGIOSITAS MASYARAKAT UDU NUNU EKO SINA

foto by Figo Acm

Semua manusia tanpa terkecuali memiliki kemampuan untuk mencipta. Kemampuan mencipta yang dimiliki manusia membuatnya berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Di sisi lain kemampuan mencipta juga membuat manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya atau homo culturalis. Kebudayaan mempertegas dimensi manusia sebagai pencipta di dunia.[1] Dengan kemampuan akal budinya manusia bisa menghasilkan berbagai hal, baik berupa komponen-komponen material seperti benda, barang atau objek tertentu maupun komponen non material dalam bentuk nilai-nilai seperti nilai kognitif, estetis, etis dan religius. Jadi hanya manusialah yang bisa menciptakan kebudayaannya sendiri. Sehingga segala sesuatu yang tercipta di luar aktivitas manusia tidak bisa disebut sebagai hasil kebudayaan.
Kebudayaan adalah hasil aktivitas manusia, yaitu aktualisasi kemampuan-kemampuan yang ada dalam kodratnya. Karya manusia bersifat sadar dan bebas, dan berbeda dari aktivitas-aktivitas alamiah dan energi alam dan dari “karya” hewan yang tidak berefleksi.[2]
Fenomena-fenomena yang terlahir secara instingtif dan tidak dipelajari tidak bisa disebut sebagai hasil kebudayaan. Kebudayaan terwujud melalui proses belajar. Melalui proses belajar manusia mengenal dunia. Kebudayaan itu dipelajari, dan bukan diterima secara biologis. Kebiasaan-kebiasaan dan cara bertindak dipelajari dalam pengalaman hidup.[3] Sebagai contoh semut-semut yang bersifat sosial, tidak dapat dikatakan memiliki suatu kebudayaan, walaupun memiliki tingkah laku yang teratur. Keteraturan semut tidak berasal dari proses belajar, tanpa pernah diajari cara melakukannya dan tanpa meniru kelakuan semut-semut lain.[4] Jadi kebudayaan selalu bermula dari proses belajar. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang menjadi milik manusia yang diperoleh melalui pembelajaran.[5]
Meskipun kebudayaan terlahir dari daya budi dan pikiran manusia, namun tidak semua aktivitas pikiran dan kehendak manusia adalah hasil kebudayaan. Apabila sesuatu yang dihasilkan itu terlahir dari satu individu saja dan dipraktekkan secara sendiri-sendiri maka belum bisa disebut sebagai kebudayaan. Hal semacam itu disebut sebagai kebiasaan pribadi, bukan suatu pola kebudayaan. Sesuatu disebut sebagai kebudayaan apabila sesuatu itu dimiliki bersama oleh suatu bangsa atau sekelompok orang.[6] Aktivitas manusia tergolong sebagai hasil kebudayaan jika hasil tersebut bersifat publik dan dipraktekkan secara umum, sekurang-kurangnya dalam kelompok penganut kebudayaan tersebut.
Ciri kebudayaan yang bersifat sosial atau publik tidak serta-merta harus bersifat universal dalam arti kebudayaan dari satu kelompok tertentu harus bisa diterima oleh semua kelompok budaya lain. Setiap kelompok dengan kekhasan pola pikirnya akan menghasilkan corak kebudayaan yang berbeda-beda. Corak kebudayaan yang dihasilkan suatu kelompok tidak bisa menegasikan corak kebudayaan dari kelompok lain meski praktik kebudayaan dari kelompok lain bertentangan dengan nilai-nilai yang diterima pada kelompok tertentu. Keberanian untuk menampar pipi sang ayah oleh seorang anak pada suku Yanomamo sangat dianjurkan. Pada budaya lain hal ini dilarang, karena menampar pipi ayah sendiri adalah tindakan yang sulit diterima. Namun intensi dasar tindakakn ini pada suku Yanomamo adalah untuk menempa keberanian generasi muda Yanomamo. Yanomamo adalah suatu masyarakat dalam mana permusuhan antar kelompok adalah umum dan biasa, sehingga tabiat yang kejam merupakan suatu sikap yang sangat berharga. Kebudayaan Yanomamo ini selaras dengan salah satu sifat kebudayaan yaitu sebagai hasil adaptasi dari lingkungan dan tuntutan kehidupan[7]. Contoh ini menegaskan bahwa manusia akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan hidup dan tuntutan-tuntutan dari berbagai segi kehidupan yang menyertainya. Tutuntan-tuntutan dalam kehidupan dari setiap kelompok budaya pasti berbeda-beda. Hal ini yang menyebabkan kebudayaan terlahir dan berkembang secara berbeda pula. Menghadapi kenyataan seperti ini suatu sikap yang dituntut dari semua manusia sebagai pelaku budaya adalah saling mengakui dan menerima kekhasan budaya dari masing-masing kelompok.
Kebudayaan sebagai proses belajar dan hasil ciptaan akal budi manusia entah berkembang dalam masing-masing kelompok budaya secara berbeda-beda dan dimaknai secara berbeda-beda selalu menjadikan manusia sebagai tujuannya. Melalui kebudayaan, manusia diarahkan untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang utuh baik dalam pengembangan daya-daya vital maupun daya-daya psikis-rohani manusia.[8] Ada dua unsur kebudayaan yang mendukung pengembangan diri manusia, yaitu kebudayaan subjektif dan kebudayaan objektif.[9] Kebudayaan subjektif mencakup nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keyakinan dan pola pikir. Melalui nilai-nilai ini manusia menyempurnakan kosmos dan menghumanisasikan dirinya.[10] Sementara kebudayaan objektif adalah pernyataan diri dari kebudayaan subjektif. Kebudayaan objektif adalah hasil dari penghayatan nilai-nilai, pola pikir dan keyakinan dalam kebudayaan subjektif. Dengan kata lain kebudayaan objektif adalah hasil kebudayaan berupa alat dan benda-benda kebudayaan yang terungkap melalui hasil ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan agama.[11] Jadi dua unsur kebudayaan ini yang berpengaruh dalam perwujudan diri manusia.
Salah satu unsur kebudayaan objektif yang sangat penting dan menentukan adalah simbol-simbol kebudayaan. Simbol menjadi bagian dari komponen budaya material yang menjadi dasar terbentuknya kebudayaan.  Pentingnya simbol dalam kebudayaan membuat beberapa ahli mendefenisikan kebudayaan sebagai suatu sistem simbol dan tanda. Salah satunya adalah Talcott Parsons. Beliau memahami kebudayaan sebagai sistem tanda-tanda atau simbol-simbol. Menurutnya setiap masyarakat menghasilkan satu sistem tanda, simbol, pola, ide dan nilai yang berperan dalam mewujudkan kehidupan.[12] Robert Schreiter juga mendefenisikan kebudayaan sebagai hasil dari interaksi simbol atau tanda yang saling mendefenisikan atau saling memberi arti.[13] Suatu simbol menjadi berarti karena diberi arti oleh simbol yang lainnya dan turut mengambil bagian dalam simbol yang lain. Setiap simbol atau tanda yang saling berkaitan akan membentuk  suatu pola kebudayaan tertentu. Simbol dan tanda menjadi sangat sentral dalam pembentukkan kebudayaan yang pada akhirnya berperan juga dalam pembentukkan diri manusia. Pentingnya simbol kebudayaan dalam mewujudkan diri  manusia juga ditegaskan Geertz dalam tulisan berikut,
Supaya dapat menyususn pikiran-pikiran kita, kita mesti mengetahui bagaimana kita merasakan sesuatu. Dan untuk mengetahui bagaimana kita merasakan kenyataan, kita membutuhkan gambaran-gambaran sentimen publik yang hanya dapat dipenuhi oleh ritus, mitos, dan seni.[14]
Ritus, mitos dan seni yang dimaksudkan Geertz di atas adalah simbol-simbol kebudayaan. Dan manusia berkembang melalui simbol-simbol tersebut. Manusia menggunakan simbol-simbol kebudayaan tersebut untuk mewujudkan dan mengekspresikan diri serta mengungkapkan keyakinan-keyainannya. Maka benar apa yang dikatakan Ernest Cassirer bahwa manusia adalah homo simbolicus (makhluk yang mengenal simbol-simbol).[15] Melalui simbol-simbol yang dikenal itu manusia mampu menemukan makna dan pesan tentang dunia bagi dirinya.
Seperti halnya simbol-simbol secara umum hadir dalam bentuk kata atau barang, objek atau tindakan, dan peristiwa begitu pula dengan simbol-simbol dalam kebudayaan. Ada banyak bentuk simbol yang dapat ditemukan dalam setiap kebudayaan. Bahasa adalah salah satu contoh simbol kebudayaan dalam bentuk kata-kata, sementara patung, monumen, benda-benda adat, gambar, dan ikon adalah simbol kebudayaan dalam bentuk barang, kemudian ritual-ritual adat adalah contoh dari simbol kebudayaan dalam bentuk tindakan atau peristiwa. Simbol-simbol ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan setiap masyarakat dalam suatu kelompok budaya tertentu. Pentingnya peran simbol dalam mewujudkan kehidupan yang utuh menjadi salah satu alasan bagi kelompok masyarakat tertentu untuk terus menjaga simbol-simbol budaya tersebut.
Penghargaan yang tinggi terhadap simbol-simbol kebudayaan sebagai bagian penting dalam kehidupan berbudaya ditunjukkan oleh masyarakat suku Keo.[16] Salah satu simbol yang masih dipelihara dan dijunjung tinggi oleh orang-orang Keo adalah simbol adat peo. Peo adalah monumen adat berbentuk tiang bercabang dua. Peo sendiri terbuat dari kayu embu (cassia fistula) yang diukir membentuk beberapa relief binatang. Sementara itu pada beberapa bagiannya disertakan beberapa simbol lain seperti simbol ayam, burung tekukur dan siput. Peo sebagai simbol adat dipahami sebagai benda yang disakralkan, disucikan, dikhususkan, simbol persatuan dan simbol kepemilikan tanah, simbol relasi antara dunia manusia dan dunia Roh atau Tuhan Allah, simbol yang membuat orang sadar akan peran, tugas dan tanggungjawabnya dalam bermasyarakat.[17] Makna yang terkandung pada peo ini membuat masyarakat Keo menaruh penghargaan yang tinggi kepada simbol adat tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masih terjaganya Peo pada setiap nua-nua pu’u[18] atau kampung-kampung pusat. Jadi, peo dianggap penting sebab  melaluinya manusia dibantu untuk membina relasi dengan sesama manusia, leluhur dan Tuhan.
Meski peo memiliki makna yang hampir sama untuk semua daerah di Keo namun setiap kampung memiliki makna khusus untuk peo yang didirikan itu. Untuk itu dalam tulisan ini penulis memfokuskan sasaran penulisan hanya pada peo di kampung Jawawawo yang berada di Desa Kotowuji Timur, Kecamatan Keotengah, Kabupaten Nagekeo, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat adat Jawawawo adalah salah satu kelompok masyarakat budaya pada suku Keo yang masih menganggap penting simbol-simbol dalam kebudayaan mereka. Salah satu simbol yang masih dijunjung tinggi oleh orang Jawawawo adalah peo. Peo diterima sebagai representasi leluhur di kampung Jawawawo dan dalam kehidupan mereka. Di samping itu orang Jawawawo juga meyakini adanya daya yang dipancarkan oleh peo tersebut. Peo diterima sebagai simbol yang mengatur keharmonisan hidup orang Jawawawo secara utuh khususnya dalam hubungan dengan sesama, leluhur dan Tuhan. Rasa hormat mereka terhadap peo dibuktikan dengan pemeliharaan simbol adat peo secara berkala.
Pada tahun 2002 lalu suatu musyawarah dalam forum terbuka atau te’e mere tenda dewa[19] anggota suku kampung Jawawawo memutuskan bahwa peo baru harus segera dibangun. Kondisi peo yang sudah semakin tua dan lapuk tidak bisa dibiarkan begitu saja. Maka pada tahun yang sama peo baru akhirnya dibangun menggantikan peo lama yang sudah berumur 50-an tahun itu. Peo bagi masyarakat Jawawawo menjadi sebuah monumen yang sakral sehingga harus selalu diperhatikan dan dijaga. Ketika peo yang lama tidak bisa dipertahankan lagi karena faktor usia maka pusi ta muri, kedhu ta mewu[20] menjadi suatu keharusan. Peo lama harus diganti dengan peo baru. Peo harus tetap kelihatan kokoh, kuat, agung dan sakral.
    Bagi masyarakat Jawawawo, peo tidak hanya sekedar simbol yang menandakan bahwa Jawawawo adalah kampung adat tetapi menjadi simbol religius dan sosial budaya. Peo adalah simbol kehadiran leluhur di tengah kehidupan orang Jawawawo. Melalui peo yang berdiri tegak orang Jawawawo mengenang kembali asal muasal nenek moyang mereka, kebajikan-kebajikan yang pernah dibuat leluhur, filosofi-filosofi hidup yang membentuk kepribadian orang Jawawawo dan Tuhan sebagai penyelenggara atas seluruh kehidupan. Peo memiliki daya yang mampu mempengaruhi seluruh aktivitas hidup orang Jawawawo, baik aktivitas jasmani maupun kehidupan rohani mereka, sehingga ketika peo lama sudah termakan usia maka para ketua suku dari semua suku di Jawawawo pun mulai mengadakan pertemuan untuk merencanakan pembuatan peo baru dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk melancarkan pembangunan peo baru itu. Pertemuan bersama ini dikenal sebagai tahap mutu mumu dhemu dema.[21] Peo baru harus segera dibuat agar orang Jawawawo tidak melupakan leluhur, tidak melupakan tempat asal, tidak melupakan kebajikan dan filosofi hidup yang pernah ditorehkan para leluhur dan tetap menaruh penghormatan terhadap leluhur yang pernah membentuk dan membangun kampung Jawawawo serta semua mereka yang pernah mendiami dan mengharumkan kampung adat tersebut.
Peo Jawawawo sudah digunakan sebagai simbol adat sejak pertama kali kampung Jawawawo dibangun yaitu pada masa embu[22] Riwu Tai dan terus bertahan hingga hari ini. Bila dihitung maka sudah empat kali peo Jawawawo dibangun. Peo pertama dibangun pada masa Kolo Sati Batu Sebho, peo kedua pada masa Nggajo Ndona Mado Wawo, peo ketiga pada masa Siga Daga Dhae Sebho, peo keempat pada masa Nggajo Legho Goa Mite.[23] Tentunya ada sesuatu dalam peo yang membuat peo tersebut terus dipelihara, dipertahankan dan dijaga hingga sekarang. Dan sesuatu itu sudah disebutkan di atas bahwa peo menjadi simbol kehadiran leluhur, kenangan akan kebajikan-kebajikan leluhur serta kenangan akan adanya Penyelenggara Tunggal kehidupan. Hal inilah yang membuat peo  selalu dipertahankan hingga saat ini. Ada suatu keyakinan pada masyarakat adat Jawawawo akan daya kekuatan dan inspirasi kehidupan yang datang dari peo. Keyakinan itu kemudian menjadi  bentuk religiositas bagi orang Jawawawo.
Religiositas semacam ini menjadi dasar kekuatan dan bertahannya simbol adat peo. Ernst Cassirer pernah mengatakan bahwa jauh sebelum menciptakan negara sebagai suatu bentuk organisasi sosial,  manusia sudah melakukan berbagai percobaan lain untuk menata keinginan-keinginan, perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikirannya yang terjadi dalam bentuk bahasa, mitos, agama, kesenian dan berbagai unsur kebudayaan lainnya.[24] Peo adalah bagian dari warisan kebudayaan yang dihasilkan para leluhur dan sudah hadir sebelum negara Indonesia terbentuk. Persatuan sudah tercipta dalam kelompok kecil kebudayaan jauh sebelum kemerdekaan dan peo menjadi simbol persatuan itu. Pemikiran-pemikiran, perasaan dan cara hidup sudah ditata di bawah kaki peo. Maka boleh diambil satu kesimpulan bahwa peo sebagai simbol telah menghadirkan religiositas bagi orang Jawawawo yang sudah ada sejak dahulu dan terus bertahan hingga saat ini. Sebagai simbolisasi ekspresi religiositas, peo Jawawawo pertama-tama bukan menjadi objek pujaan tetapi sebagai tugu peringatan atau monumen budaya dalam hubungan dengan roh para leluhur dan Wujud Tertinggi sebagai asal dan tujuan hidup mereka.[25]Peo adalah sarana, bukan tujuan. Peo menjadi suatu simbolisasi. Sebagai simbolisasi, peo menjadi sarana pendidikan yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Melalui peo, orang Jawawawo ingat akan berkat Allah dan leluhur yang mereka terima dari dulu, sekarang dan waktu yang akan datang.



[1] J. W. M. Bakker, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 22.
[2] Frans Ceunfin, “Filsafat Budaya”, Manuskrip, Ledalero: 2004,  hlm. 118.
[3]Ibid., hlm. 18.
[4] Carol R. Ember dan Melvin Ember, “Konsep Kebudayaan” dalam T. O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 19.
[5] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1971), hlm. 180.
[6]Ibid.,  hlm. 20-21. Bdk. Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 15.
[7] Bdk. Frans Ceunfin, Op.Cit., hlm. 20.
[8]Ibid., hlm. 122-123. Lihat juga J. W. M. Bakker, Op. Cit., hlm. 37.
[9] Bdk. Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia; Paradoks dan Seruan (Jogjakarta: Kanisius, 2004), hlm. 59.
[10] J. W. M. Bakker, Op. Cit., hlm. 38.
[11]Ibid., hlm. 38-48.
[12] Frans Ceunfin, Op.Cit., hlm. 27.
[13]Robert J. Schreiter,Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), hlm. 84.
[14]Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 98.
[15]Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Essei Tentang Manusia (Jakarta: PT. Gramedia, 1987), hlm. 40.
[16] Ada tiga suku besar di kabupaten Nagekeo yaitu suku Nage, Keo dan Toto. Suku Keo meliputi semua daerah di pantai Selatan mulai dari kecamatan Mauponggo, Keotengah dan Nangaroro. Sementar Jawawawo adalah bagian dari Kecamatan Keotengah.
[17] H. Primus Siu, “Nilai Dan Simbol Religius Perjamuan Raya (Nado Mere) Masyarakat Jawawawo: Studi Komparatif Inkulturatif Dengan Nilai-Nilai Ekaristi”, Tesis (Maumere: STFK Ledalero, 2012), hlm. 4.
[18]Nua berarti kampung, pu’u berarti batang. Jadi nua pu’u dimengerti sebagai kampung utama atau kampung pusat bagi beberapa kampung lainnya. Kampung-kampung lain diandaikan sebagai dahan-dahan dari batang utama.
[19]Te’e berarti tikar, mere berarti besar, tenda berarti ruang tamu, dewa berarti panjang. Secara harafiah te’e mere tenda dewa berarti tikar besar dan ruang tamu yang panjang. Namun sebenarnya te’e mere tenda dewa berarti suatu forum terbuka di mana semua orang berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan atau pekerjaan bersama yang akan dilakukan.
[20]Pusi berarti mengisi, muri berarti baru, ta berarti yang, kedhu berarti cabut, mewu berarti rusak atau hancur. Secara harafiah pusi ta muri kedhu ta mewu berarti isi yang baru dan cabut yang lama. Term ini memiliki makna yang mendalam bahwa yang jahat, buruk dan tidak baik dalam kehidupan mesti diganti dengan sesuatu yang baik dan benar.
[21]Mutu berarti berkumpul, mumu berarti mulut, dhemu berarti mempertemukan dema berarti lidah. Secara harafiah mutu mumu dhemu dema berarti mulut-mulut yang berkumpul dan mempertemukan lidah-lidah. Tapi sebenarnya mutu mumu dhemu dema berarti suatu pertemuan yang dilakukan secara bersama-sama di mana setiap orang bisa memberikan ide atau pendapatnya dalam mewujudkan suatu rencana bersama.
[22]Embu adalah sebutan untuk orang yang sudah tua baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, baik yang perempuan maupun yang laki-laki. Kata embu sama dengan kata kakek atau nenek dalam kosa kata bahasa Indonesia.
[23] Lasarus Gani, 52 Tahun, Tokoh Adat dan Tetua Adat, Wawancara, Jawawawo, 3 Juli 2014.
[24] Ernst Cassirer, Op.Cit., hlm. 98.
[25] H. Primus Siu, Op.Cit., hlm. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar